Sebuah Harapan
Seperti biasanya, seseorang pernah menjatuhkan harap di sudut ruang. Dia membingkai harapan itu dengan baik. Dengan sebuah pita cantik dan bunga mawar berwarna merah. Entah, kutemukan harapan tersebut di sudut ruang yang tak pernah dijamah orang sedikit pun. Pun sekedar untuk singgah sebentar, lalu lalang saja tidak.
Harapan itu telah tergeletak di lantai tanpa kudengar sedikitpun suara ketukan pintu dari awal bertemu. Tak ada tatapan nyata ketika bertatap mata. Entah, hanya sesuatu yang tiba-tiba membuat harapan itu dititipkan tanpa kata.
Telah lama harapan itu kubuang jauh-jauh dari sudut ruang itu, tak kurasakan lagi harapan itu menggerayangi pikiranku. Sekali lagi kupastikan semua pintu tertutup rapat-rapat agar tak ada yang masuk untuk sekedar beristirahat.
Setiap senja tiba, sesekali ku hanya membuka jendela untuk sekedar melihat bagaimana rupa senja setiap harinya. Senja selalu sama. Namun, guratnya yang berbeda. Itu yang kulihat dari kejauhan. Meski senja selalu menarik tanganku untuk melihat guratan-guratannya yang begitu menawan.
“Mari lihat setiap guratanku yang berbeda. Kau akan terpana” ucap senja.
Aku berkali-kali melangkah mundur, namun kembali ditarik lembut oleh sang senja. Aku berkali-kali menutup mata, meski senja berusaha membuatku memandang guratannya. Sampai senja selalu menunjukkan guratan kuning keemasannya.
Aku mencoba untuk menengok sedikit, namun kabut selalu menutupi. Aku tak begitu mengerti mengapa kabut tiba-tiba datang dan guratan itu menghilang. Setiap kali kucoba melangkah maju, kabut tersebut keranjingan ribut melepas tanganku dari sang senja. Entahlah.
Semakin lama, guratan-guratan itu semakin berani menunjukkan dirinya. Ingin diakui sebagai yang terbaik yang pernah ada. Entah, padahal hanya kulihat dari sudut kornea mata.
Hingga akhirnya guratan itu melukaiku. Menaruh kembali sebuah harap kalau yang kulihat adalah yang terbaik dari yang terbaik dan hanya untukku. Harapannya lebih besar dari sebelumnya.
Hingga sebuah kalimat yang pernah kudengar muncul kembali menamparku kuat-kuat.
“Berharap hanya pada penciptamu saja”
Saking kuatnya, aku tak mampu meraih pintu atau pun jendela untuk menutupnya. Aku hanya terduduk diam merasakan sakit karena terluka. Tak mampu berjalan untuk sekedar menjauh dari pintu dan jendela. Meski harapan datang menghampiriku, di sudut persimpangan jalan dengan sinar lampu remang-remang dan ditemani bayang-bayang kenangan. Atau di ujung ruang ketika seisap kopi telah membeku di bibir cangkir dengan angan. Bahkan di sepanjang jalan penuh daun berguguran. Membuatku selalu melihat, memandang dari kejauhan, tanpa mampu percaya sedikitpun pada apa yang ada dalam pandangan. Meski harapan selalu datang, entah aku tak mampu berharap lagi, pun percaya. Aku takut, gurat itu membuatku keranjingan hingga aku tak mampu memiliki perasaan.
Aku hanya sekadar berharap pada Tuhan, bawalah aku pada senja yang benar-benar nyata. Meski harus menunggu lama. Yang pada akhirnya memang benar-benar tercipta untukku saja, bukan untuk dia yang lainnya.



Komentar
Posting Komentar