Kau, dan Hidupmu.
Jika kau takut untuk mendongakan
kepala, tunduklah saja pada tanah yang setia memapahmu.
Jika kau takut untuk menunduk,
tegakkan dirimu, tataplah sekitarmu. Aku tahu, kau mampu membayangkan betapa
indah kau melihat segalanya.
Terkadang kau takut untuk
melangkah, pun kau takut berdiam. Tak melakukan apapun yang mampu membuatmu
merasa hidup. Namun, berdiam sajalah dan cobalah untuk tersenyum saja.
Berdiam tak melulu tentang tak
ubahnya sikapmu terhadap dunia. Terkadang, berdiam adalah cara untuk mengubah
dunia. Mengubah cara pandang mereka terhadapmu. Tanpa kata yang menyelimutinya.
Hanya senyum yang terlampir disekelilingnya.
Perlu waktu untuk mengubahnya,
namun percayalah. Sungguh, kau harus percaya.
Tak melulu mengikuti apa mau
dunia. Kau harus percaya bahwa kau mampu berjalan diatasnya. Mengendalikan
dunia yang sebelumnya mencacimu. Menjadi dirimu sendiri.
Jangan kau pikir semua itu bukan
dari cacian mereka. Mereka yang mencacimu, mereka yang menyalahkanmu, mereka
yang menyudutkanmu, hingga kau tak mampu bernapas dan ingin menyudahi semuanya,
adalah cara untukmu mengubah dunia.
Tunggu, apa aku mengatakan bahwa
tak melulu mengikuti apa mau dunia? Ya, jelas kau tak perlu mengikutinya, kau perlu
menatanya. Menata semua yang dilontarkan dunia, lalu kau jadikan sebuah elegi,
dan pada akhirnya menjadi sebuah kekuatan untuk mu.
Tentu, kau harus merasakan
rasanya menangis, tertawa, bahkan gila.
Aku hampir gila, ketika cacinya
mengenai batinku bertubi-tubi.
Aku hampir gila ketika perasaan
mencekikku kuat-kuat
Aku hampir gila ketika tombaknya
menyudutkanku untuk mengaku kalah.
Aku hampir gila ketika keadilan
tertutup kabut dan tak mampu menyeruak ke hadapan khalayak.
Aku hampir gila hingga aku tak
mampu bernapas dalam sebuah semesta.
Namun, sepi menyelamatkanku dari
semua kegilaan itu. Sepi mengelus bahuku dan berkata,”Kau baik-baik saja,
berdiamlah sejenak. Lihat apa yang terjadi ketika kau terdiam. Jangan lupakan
senyum pada penghujung kisahmu nanti”
Lalu, aku berpikir, untuk apa aku menyimpan kegilaan itu di atas bahuku dan meneteskan hujan tiap saat. Hujan itu
hampir memenuhi bendungan kemarin sore. Aku mampu menghilangkan nyawa yang
telah kesepian di sudut ruang yang hampa. Tak pernah terisi lagi oleh
ketenangan dari surga seberang sana. Tak pernah ada cahaya masuk lagi
menyinarinya. Menghitam.
Maka kau harus bangkit.
Kau mencoba untuk dewasa, namun
tak sampai hati. Kau mencoba untuk tenang namun kau tak mampu berhenti berlari.
Selalu menghindar dari sebuah penderitaan yang sebenarnya sedang kau ciptakan.
Hingga membuat ruang hampa itu penuh sesak tak bernapas.
Pikirkanlah, hidupmu kau ciptakan
untuk menyurgakan perasaanmu. Hidupmu kau ciptakan untuk menggapai hikmah pada
akhirnya.
Namun, mereka akan bersikeras
bahwa hidupmu terlalu sulit untuk kau ciptakan. Lalu, apa yang akan kau lakukan?
Menyalahkanmu bahwa kau lamban? Menyalahkanmu bahwa kau bodoh? Membunuhmu
dengan keragu-raguan? Atau bahkan menenggelamkanmu dengan kekalahan?
Ini bukan masalah sebuah
pertarungan untuk mencari menang dan kalah. Namun, tak bisa dipungkiri. Bahwa
kau harus menjadi pemenang dalam hidup yang memang sedang kau ciptakan.
Hidupmu tidak berarti apa-apa
oleh orang lain. Hidupmu hanyalah hidupmu. Namun ketika orang lain mengangkat
tangan dan menghentikan alur hidupmu, mereka pasti telah terluka. Entah
karenamu atau karena luka yang mereka ciptakan sendiri dari hidup seorang “Kau”.
Baiklah, biarkan saja. Biarkan
mereka merenggut hidupmu hanya untuk menjadi tombak yang menusuk jantung
mereka. Biarkan mereka menghapus alurmu hanya untuk membela sebuah hal yang
seharusnya bukan kau yang ada di dalamnya. Namun, terimalah apa yang mereka
berusaha ciptakan untuk melengkapi hidupmu, pada akhirnya hidup selalu sempurna
sesuai alur yang mereka ciptakan sendiri. Bukan yang orang lain ciptakan.
Hidupmu kau ciptakan, bukan untuk
membuat luka pada relung mereka. Namun, untuk membuat mereka menyadari mereka
harus bahagia. -(Sepi, yang selalu ada selama kau hidup.)



Komentar
Posting Komentar