Mengenalmu, Diriku.
Hari dimana aku menatap diriku, refleksiku di air yang tenang. Semua sama, masih berbentuk sempurna. Sampai ketika sehelai daun jatuh di atas air itu, aku hancur. Ada banyak suara mencaciku. Berkecamuk di sekitarku, tak lagi setenang aliran sungai, bahkan pemakaman.
"Aku mengenalmu, kamu yang mampu melupakan begitu banyak hal penting sampai kamu kesulitan"
"Aku mengenalmu, kamu yang selalu menangis sampai lupa diri"
"Aku mengenalmu, kamu yang mampu bergejolak ketika telah lelah pada sebuah titik"
"Aku mengenalmu, kamu yang selalu tersenyum bahkan terlihat setitik air mata di kelopak matamu"
"Aku mengenalmu, kamu yang tak mampu mengenal diri sendiri bahwa aku ini adalah dirimu"
Ini masih aku. Dengarkan.
Kamu tahu, refleksimu hanya membuatmu menjadi terlihat kuat. Dan sehelai daun jatuh untuk membuatmu goyah. Kamu lebih kuat dibanding sebuah refleksi. Kamu lebih nyata dibanding tenangnya air.
Jangan hanya karena sehelai daun, kamu merubah dirimu. Merubahmu, bukan berarti menjadi lebih baik. Kadang, perubahanmu membuat orang lebih tersakiti. Untuk apa kamu berubah jika hanya untuk tidak sengaja menyakiti orang lain? Mungkin banyak orang yang mencacimu. Hingga hidupmu tak setenang aliran sungai. Bukan karena perkotaan baru disekitarnya. Atau anak kecil yang berlarian ditepinya. Namun, karena kamu mendengar. Ya kamu terlalu membiarkan telingamu mendengar mereka. Mereka yang mencaci dengan alibi menasihati, memberi saran.
Mereka bukan menasihati. Bukan di depan, dengan menatapmu dan ternyata untuk menambahkan ocehan murahan. Untuk apa mendengar nasihat mereka yang membuatmu menyakiti orang lain? Untuk apa merubah sikapmu demi menyenangkan ego mereka? Demi melancarkan kisah mereka? Demi menjadi viguran dalam kisah jahat mereka?
Memang begitu sulit, tapi cobalah menghentakkan kaki, kuatkan dirimu, dan bergegas menutup mata dan telinga untuk mereka. Aku hanya ingin kamu seperti itu. Lebih baik tidak memaksa merubah diri dan jadilah dirimu sendiri agar tidak menyakiti orang lain. Kadang perubahan bukan solusi terbaik. Bahkan perubahan mampu merusak dirimu sendiri. Alibimu berubah adalah untuk memperbaiki sikap. Namun nyatanya? Kamu menjadi watak jahat untuk sebuah kisah klasik.
Namun, bukan berarti kamu mengacuhkan mereka. Mungkin alibi mereka bisa dijadikan sebuah senjata yang akan menjadi watak untuk membalas mereka. Senjata kena tuan. Mendengarkan mereka sedikit membantumu membentuk refleksi itu lagi. Bahkan senjatamu mampu membuat air itu beradu dan membasahi telinga mereka agar mampu berperasa sedikit lebih baik.
Terkadang mencoba sedikit lebih naif membuat mereka merasa malu telah mengeluarkan alibi itu. Terkadang bicara yang terlalu sopan, mampu membuat mereka menyadari alibinya telah menelan dirinya sendiri.
Yang jelas, aku tak ingin kamu berubah, ketika mereka melepas keluh mereka. Yang jelas-jelas membuatmu menjadi jauh lebih buruk. Kamu merasa itu perubahan yang sangat baik, yang pada sisi lain hatimu masih ragu dengan perubahan itu. Perubahanmu mampu menjadi monster yang akan memakanmu hidup-hidup di tengah-tengah tenangnya pemakaman. Mungkin sedikit sensitif mendengarnya.
"Kamu sudah berubah. Begitu saja berubah. Sekarang aku harus bagaimana?"
"Aku tak mengerti yang kamu katakan, maaf aku terlalu naif."
"Kamu hanya mencoba untuk naif. Itu lebih baik. Jadilah senaif mungkin. Maka perlahan kamu akan memahami mengapa naif itu diciptakan."
"Bagaimana kalau aku tak bisa?"
"Bagaimana kalau aku tak bisa?"
"Be yourself. Don't do what they say you must do. Kalau kamu tak ingin berteman dengan alibi mereka"
"Apa yang akan terjadi? Mereka pasti murka"
"Murka mereka tak menghancurkanmu, karena mereka bukan dirimu."
"Let it off what you have. Cause that more important than they're babble."
"Alibi mereka adalah sebuah batu yang ketika dijatuhkan ke air, bukan hanya mampu membuat refleksimu hancur. Namun membawa harapanmu jauh ke dalam sana, bahkan tak terlihat di permukaan"
"Ketika kamu kehilangan apa yang kamu punya, kamu akan sungguh menyesal. Dan mereka yang beralibi tak ingin menyentuh tanganmu untuk menguatkan."
Namun, kebodohan itu bukan perkara menjadi alibimu juga. Kau tidak berperasa. Menganggap dirimu terlalu benar dan begitu percaya diri pada refleksimu yang sempurna. Dan tak mendengar jeritan mereka yang telah tersakiti karena kita yang memaksa untuk berubah. Itu jeritan, bukan alibi lagi. Alibi hanya datang karena mereka melihat, sedangkan jeritan datang karena mereka merasa.
Pahamilah apa yang mungkin terjadi karena kita, dan apa yang akan terjadi karena kita berubah. Itu berbeda. Kalau memang kamu berperasa, kamu pasti tersiksa mendengar jeritan mereka dengan senyum yang mereka sunggingkan dengan paksa.
Satu hal yang memang harus kamu tahu. Ini aku, yang mengenalmu. Kamu yang memang tak mengenaliku. Aku yang pastinya adalah dirimu. Aku mohon pahamilah diri ini, rasakanlah apa yang sebenarnya kamu rasakan. Lihatlah ke dalam diri ini yang memang adalah dirimu. Apa yang harus kamu benahi. Apa yang harus kamu dengar. Apa yang harusnya kamu lakukan. Karena aku, sungguh menyayangimu.
Pahamilah apa yang mungkin terjadi karena kita, dan apa yang akan terjadi karena kita berubah. Itu berbeda. Kalau memang kamu berperasa, kamu pasti tersiksa mendengar jeritan mereka dengan senyum yang mereka sunggingkan dengan paksa.
Satu hal yang memang harus kamu tahu. Ini aku, yang mengenalmu. Kamu yang memang tak mengenaliku. Aku yang pastinya adalah dirimu. Aku mohon pahamilah diri ini, rasakanlah apa yang sebenarnya kamu rasakan. Lihatlah ke dalam diri ini yang memang adalah dirimu. Apa yang harus kamu benahi. Apa yang harus kamu dengar. Apa yang harusnya kamu lakukan. Karena aku, sungguh menyayangimu.



Komentar
Posting Komentar