Secangkir Kopi dan Kepercayaan
Semakin dingin, perasaan semakin bercampur. Menjadi butiran
debu yang dihempaskan ke udara malam itu. Tak pernah mengerti bagaimana rasa
sesapan kopi di ruang tamu. Yang telah menggigil sejam yang lalu. Mungkin,
kalau aku tuang sedikit hangat pada bibir cangkir itu, kopi akan semakin terasa
lampau. Tertinggal oleh angin yang berhembus begitu dinginnya ke arah utara
salju yang tak pernah ada. Aku hanya bosan dengan secangkir teh yang sudah
membasi. Hanya saja, tak punya dua cangkir untuk menimbang bekunya kopi yang
ditinggalkan kegelisahan oleh tuannya kala itu.
Kopi itu hanya menjadi sebuah kenangan yang tak tersentuh
bibir lagi. Ada seorang gadis sedang memandang secangkir kopi itu sambil
bertanya,”ke mana kepercayaan yang telah ditinggalkan tuannya?”
“Kau takkan pernah tau, di mana kepercayaan itu berada.” Jawab
semesta menggigilkan tulang rusuknya.
“Kepercayaannya seperti apa?” tanya gadis itu lagi. Semesta
hanya tersenyum, tanpa panjang lebar ia menjawab, ”Kepercayaan itu, ada di
hatimu.”
Gadis itu pergi dengan kebingungan. Tak mengerti harus
bagaimana, “Hah, kepercayaan itu menyerang hatiku!”
“Semesta tak katakan dari awal. Pasti kebekuan akan
menusukku kelak”
Gadis itu berlari menuju jerami untuk berjaga. Takut beku
menusuknya tiba-tiba. Namun, dia tahu, apa yang seharusnya ia hindari adalah
setumpuk jerami. Pasti ada setusuk jarum yang sangat runcing. Dia hanya tak
mampu karena bayangan semesta telah menutup matanya. Mimpinya akan menjadi
kenyataan pikirnya. Ketika ia hampir bersembunyi pada jerami itu, sang semesta
berkata,
”Janganlah kau tunduk begitu saja wahai gadis, aku hanya
menceritakan kisah lampau untuk kau simpan”
“Aku takut, wahai semesta. Aku takut seperti sesap kopi yang ditinggalkan sang hangat.”
“Lalu, kau akan melawan siapa kalau itu yang kau takutkan?”
“Aku lebih baik tertidur bersama sepi, wahai semesta”
“Namun kau akan menyesal. Sepimu akan merenggut cahaya yang
ada dalam hatimu”
“Kalau beku menusukku? Cahaya itu akan sirna kan?”
“Beku takkan menusukmu. Ia hanya menjelaskan cahaya itu
menjadi kilauan bintang dalam hatimu”
Gadis itu tak percaya. Lagi-lagi, dia membuang
kepercayaannya pada bayangan tersebut. Kali ini, semesta telah pergi tanpa
pamit. Lalu, Bayangan apa?
--Secangkir kopi dan Kepercayaan--
Gadis itu pergi ke sana ke mari, bertanya kepada alam, “mengapa
semesta pergi? Mengapa semesta tak membantuku?”
“Kau tak mempercayai semesta, wahai gadis. Kau tak percaya
apapun. Kau hanya percaya pada dirimu sendiri dan menjadikan dirimu kurcaci.”
“Jangan laknat alam! Aku bukan kurcaci kesepian!”
“Kau bukanlah gadis yang dikenal dulu. Kau sungguh berubah.”
“Percayalah, kubur dalam-dalam bayangan itu.”
“Bayangan apa? Aku tak mengerti, alam”
“Berikan saja pisau itu.”
“Untuk apa”
“Untuk membunuh. Kekuatan hatimu yang membuatmu seperti itu.”
“Aku muak semua orang menyalahkanku”
“Semakin kau menyangkal, itu akan semakin sakit,” kata alam
mengingatan
“Aku hampir tiba, aku tahu aku akan pergi, dengan bayangan
itu. Namun, selama ini semesta tidak
bersamaku.”
“Aku tiba pada saat sebuah sesal dan isak bersatu dan
membunuh bayang itu. Namun, apakah bayangan itu?”
Bayangan yang telah menemani gadis itu, adalah dirinya
sendiri yang penuh ketakutan, ketidaksadaran, kegelisahan. Ingatlah, secangkir
kopi membeku karena kegelisahan. Bukan karena kebekuan yang membunuh hangat
malam itu. Aku ingin kegelisahan pergi dari hidup ini. Maka percaya yang aku
genggam tak boleh pergi atau kutinggalkan.



Komentar
Posting Komentar