Sajak Lugu untuk Kalbu
Aku tak
mengerti aku harus mulai dari mana. Mungkin kumulai dengan mengeja namaku. Atau
mungkin dengan sepatah kata dariku. Tapi kupikir, kumulai dengan kisahku. Di
luar sana, aku selalu tertawa, Aku selalu tersenyum, Aku selalu berusaha.
Itulah sandiwaraku di atas nyatanya kehidupan.
Di sini, Di
kamar ini, Bukankah inilah aku yang sebenarnya? Merenung, Terdiam, Menangis,
Teriak, Berbising, Menghempas. Aku tak mengerti, Mengapa aku tak bisa mewarnai
kehidupan nyataku. Aku selalu bahagia dan mampu tersenyum di keramaian. Namun
ketika aku kembali, aku menjadi orang
penyendiri lagi. Menyendiri lagi dan lagi. Aku tak mengerti. Namun aku mampu
bebas ketika aku sendiri. Aku tak perlu tertawa di atas kepalsuan. Aku tak
perlu bersusaha payah berpura-pura berguna untuk orang lain.
Kata orang,
bahagia itu sangat mudah. Apalagi dengan memiliki seseorang. Namun aku pernah
merasakannya. Tak semudah itu. Bahagia itu tak mudah bertahan. Ketika seorang
yang kau percaya, malah merusak dan menghancurkan kebahagiaan yang telah kau
bangun. Aku sedikit tak percaya lagi. Sulit untuk mencoba bahagia lagi.
Menemukan orang yang akan menjaga bahagia itu. Sulit. Setelah aku berlari, aku
kehilangan arah. Setelah aku terjatuh, aku tak mampu bangun. Rasanya aku ingin mati. Tapi mati pun tidak lebih mudah dari hidup. Percuma
jika kau ingin mati tapi kau sulit untuk mati. Aku tak mengerti, namun aku
mampu bersandiwara seperti ini. Aku mampu menghias hidup palsuku ini. Mampu
tertawa dengan orang lain. Tapi apa salahku, sehingga aku hanya bisa
melakukannya pada hidup ilusiku. Ketika aku ingin melanjutkannya pada dunia
nyata, aku tak mampu. Aku menangis, Aku berteriak. Aku terhempas. Berkali ku
mencoba, tetap gagal. Apakah yang orang katakan itu benar? Namun aku tak
merasakannya waktu itu. Aku harus bagaimana? Membangun dongengku pada kisah
yang nyata? Menciptakan kebahagiaan dengan orang lain? Seseorang? Haha. Aku
hanya bisa tertawa. Aku merasa tak ingin melakukannya. Aku merasa bahwa itu
hanya khayalan yang sebenarnya. Tapi, seketika aku berpikir kembali. Apakah
aku mampu menemukan orang itu? Orang yang mampu membantuku tertawa? Itu
mustahil kan? Aku hampir kehilangan harap. Sampai suatu saat nanti ku temukan
seseorang yang mampu menggenggam bahagiaku. Aku masih takut. Aku akan selalu
takut. Aku hanya ingin menorehkan pada tulisan. Apalah sebuah tulisan, aku tak
mengharap sebuah karya. Aku hanya mampu melampiaskan pada tulisan. Bahkan aku
tak mampu menceritakan kepada siapa pun. Siapa pun. Aku membisu ketika ditanya
“Mengapa kau diam? Kau bosan?” Aku hanya bisa tersenyum, berkata tak apa dan
berlalu dari mereka. Aku terasa terasingkan. Aku tak mengerti. Apa itu yang
dimaksud menyadarkanku bahwa aku hanya bersandiwara?
Apa mungkin aku, aku melakukan
kesalahan sehingga aku tak mampu bahagia? Apa aku berlebihan menanggapi semua
hal? Kalau aku menganggap remeh itu pun salah. Jadi aku harus bagaimana?
Mungkin aku kurang bersyukur diberikan hidup seperti ini. Setiap kali, di
keramaian pun, tatapanku kosong dan berkaca. Hampir hampir aku mengakui aku
memiliki mata kaca. Aku tahu mataku tak mampu berkata. Apalagi bibirku ini yang
seketika membeku. Aku benar-benar tak punya teman yang nyata. Yang mampu
membaca dan mengerti bagaimana sebenarnya keadaanku. Mungkin orang melihatku
selalu tertawa, dan sedikit lugu. Namun, mereka tidak melihat beban yang
kupapah hingga lelahnya aku tertawa. Aku bukan tertawa karena bahagia, karena
tidak punya masalah. Namun karena aku tak mampu menangis di hadapan khalayak.
Aku lelah harus mencoba menceritakannya pada dunia. Aku tak mampu mengutarakan
masalahku. Hingga aku terbayang oleh bebanku sendiri. Hingga aku tertawa di
atas penderitaanku. Aku tersenyum melihat dunia yang sebenarnya tak bisa
menghiburku. Aku lugu dan sedikit kurang tanggap karena tak mau orang lain
memahamiku. Tapi sungguh, aku ingin ada orang yang tahu. Aku bukanlah orang
yang periang. Yang selalu tertawa dan tersenyum dan tak tahu apa-apa. Bahkan
aku terkadang mengetahui apa yang kalian lihat dariku. Bagaimana kalian
memandangku. Bagaimana kalian menjelaskan aku yang seperti pandangan kalian.
Aku hanya bisa bersandiwara.
Aku lelah menangis disetiap
kesendirianku. Atau bahkan tak mampu menangis di keramaian sana. ”La Tahzan.”
Aku tegarkan diri ini dengan berkali- kali mengatakan itu. Mungkin sampai aku
bosan mengatakannya. Namun, aku tetap ingin merasa sendiri. Aku bisa tertawa
lepas maupun meneteskan air mata yang sekarang aku tak mampu mengartikannya.
Hatiku sudah cukup kaku dan membeku. Seperti aku hidup dalam bongkahan batu di
hilir sungai.
Hanya aku,
semesta dan Tuhan yang tahu mengapa aku begini. Yang jelas aku hanya mencoba
melepas beban dengan menulis ini. Sebuah sajak atau mungkin curhatan lepas yang
luasnya seperti cerpen seorang siswa SMA labil. Sebuah sajak pelepas penat
untuk diriku yang tak mampu bangun dari kepura-puraan.



Komentar
Posting Komentar